60 Tahun Wiji Thukul, Momentum Mengingatkan Negara untuk Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM…

Kompas.com – 26/08/2023, 21:09 WIB

Penulis Dian Erika Nugraheny | Editor Nursita Sari

JAKARTA, KOMPAS.com – Para aktivis yang tergabung dalam Koalisi Menolak Lupa memperingati ulang tahun ke-60 penyair dan aktivis Wiji Thukul di Galeri Nasional, Gambir, Jakarta Pusat, Sabtu (26/8/2023).

Dalam peringatan kali ini, ada sejumlah kegiatan yang dilakukan, antara lain pembacaan puisi karya Wiji Thukul, penampilan musik, dan pemutaran film “Istirahatlah Kata-kata”.

Film ini menceritakan hari-hari Wiji Thukul saat menjalani hidup dalam pelariannya hingga menghilang sampai saat ini.

Ketua pelaksana acara Wilson mengatakan, peringatan ulang tahun ke-60 Wiji Thukul berlangsung menjelang momentum Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

“Ini seperti menjadi momen yang tepat untuk kembali mengingatkan negara agar tak lupa menuntaskan kasus penghilangan paksa dan pelanggaran HAM lainnya di negeri ini,” kata Wilson kepada wartawan seusai acara.

“Tentu penyelesaian akan semakin sulit bila tokoh yang pernah terlibat dalam penghilangan paksa, menjadi pemimpin di negeri ini. Tentu kami tidak ingin hal ini terjadi,” lanjut dia.

Dia pun menegaskan, para aktivis ingin tetap melanjutkan semangat yang diinisiasi oleh Wiji Thukul.

Karena itu, ada satu pesan penting yang disampaikan, yakni tidak memberikan ruang untuk calon pemimpin yang terlibat dalam penculikan para aktivis di masa lalu.

“Melanjutkan api semangat yang dikobarkan Wiji Thukul, pada peringatan ulang tahunnya ini kami ingin menegaskan: kalahkan capres penculik,” kata Wilson.

“Selamat ulang tahun Wiji Thukul. Lihatlah, kami masih ada dan berlipat ganda,” tambah dia.

Hilangnya Wiji Thukul

Wiji Thukul lahir pada 26 Agustus 1963 di Kampung Sorogenen, Solo, Jawa Tengah.

Ia tumbuh dalam lingkungan yang mayoritas penduduknya adalah rakyat jelata. Banyak yang berprofesi sebagai buruh, juga tukang becak.

Sejak SD, Wiji sudah menulis puisi. Ketika duduk di bangku SMP, ia mulai tertarik pada dunia teater.

Saat dewasa, puisi-puisi Wiji Thukul menjelma sebagai simbol perlawanan gerakan mahasiswa dan rakyat terhadap pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Soeharto.

Puisinya kerap bergema dalam berbagai aksi massa.

Bahkan, puisinya yang berjudul “Peringatan” dikutip menjadi slogan gerakan dengan kalimat yang penuh gelora: Hanya ada satu kata, lawan!

Wiji Thukul sadar pentingnya organisasi sebagai alat gerakan untuk memperkuat barisan perlawanan terhadap kediktatoran Orde Baru.

Wiji Thukul bersama para seniman dan intelektual kerakyatan lantas memprakarsai berdirinya Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jaker) pada 1994.

Di organisasi yang menghimpun para seniman ini, Wiji Thukul dipercaya menjadi ketua.

Menurut Wiji Thukul, seniman harus jadi pelaku, bukan objek. Dengan keyakinannya ini, Wiji Thukul terlibat dalam pendirian organisasi oposisi bernama Persatuan Rakyat Demokratik (PRD) pada 1994.

Organisasi ini kemudian bertransformasi menjadi Partai Rakyat Demokratik (PRD) pada Juli 1996.

Menjelang keruntuhan rezim Orde Baru, Wiji membaca puisi terakhir di depan publik pada deklarasi PRD yang digelar di Gedung YLBHI, Jakarta, 22 Juli 1996.

Tak lama kemudian, terjadi peristiwa 27 Juli 1996. Kantor PDI pro Megawati di Jalan Diponegoro, Jakarta, diserbu orang-orang berambut cepak.

Banyak korban berjatuhan akibat tragedi berdarah itu. Beberapa hari kemudian, PRD dinyatakan sebagai organisasi terlarang oleh rezim Orde Baru.

Sejak saat itu, para pimpinan PRD dan ormas pendukungnya menjadi buronan politik negara.

Wiji Thukul harus bersembunyi ke berbagai tempat untuk menghindari buruan aparat. Situasi ini tergambarkan dalam film “Istirahatlah Kata-kata”.

Pada Januari 1998, istri Wiji Thukul, Sipon mengatakan bahwa ia terakhir bertemu suaminya di Stasiun Solo Balapan, Kota Solo.

Usai pertemuan itu, Wiji Thukul harus kembali sembunyi ke berbagai kota, sampai akhirnya hilang tanpa jejak.

Pada 1999, pengurus PRD membuat tim investigasi untuk memastikan keberadaan Wiji Thukul. Kesimpulan tim, sang penyair dinyatakan sebagai korban penghilangan paksa.

Pada 20 Maret 2000, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendapat laporan atas hilangnya Wiji Thukul.

Menurut Kontras, hilangnya Thukul terkait dengan peristiwa penghilangan paksa aktivis reformasi menjelang kejatuhan Presiden Soeharto pada 1998.

Nama Wiji Thukul masuk sebagai korban penghilangan paksa saat Komnas HAM melakukan penyelidikan atas kasus penculikan aktivis 1997-1998.

Dari penyelidikan tersebut, Komnas HAM menemukan nama 13 aktivis yang masih hilang selama periode 1997-1998, termasuk Wiji Thukul.

Pada 2007, DPR RI membentuk Panitia Khusus (Pansus) Penanganan Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa. Pansus ini, pada September 2009, mengesahkan empat rekomendasi, yaitu:

  1. Kepada Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc.
  2. Membentuk tim pencarian aktivis yang masih hilang.
  3. Memberikan reparasi dan kompensasi pada keluarga korban.
  4. Meratifikasi konvensi anti-penghilangan paksa.

“Sampai hari ini, empat rekomendasi tersebut belum dipenuhi negara. Janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menemukan Wiji Thukul dan kawan-kawan, hidup atau mati, belum dilaksanakan,” ujar Wilson.

Sumber: https://www.kompas.com/nasional/read/2023/08/26/21093851/60-tahun-wiji-thukul-momentum-mengingatkan-negara-untuk-tuntaskan-kasus.

Leave a Reply

Share via
Copy link
Powered by Social Snap