1965: Pemerintah Indonesia didesak ‘menulis ulang sejarah’ peristiwa kekerasan 1965-1966 – ‘Beri tempat kepada suara korban yang selama ini dibungkam’

Tri Wahyuni

Peranan,Wartawan BBC News Indonesia

——–

Pemerintah didesak segera “menulis ulang sejarah” terkait peristiwa kekerasan massal 1965-1966 sebagai tindak lanjut upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Alasannya, sejarah resmi yang disajikan selama ini dibuat dengan “negara sebagai satu-satunya sumber kebenaran” dan tanpa memberi tempat kepada orang-orang yang menjadi korban.

Menurut sejarawan, negara tidak bisa “lepas tangan” dan menyerahkan tanggungjawab pelurusan sejarah terkait peristiwa 1965 itu kepada para sejarawan.

“Paling tidak itu [temuan baru para sejarawan tentang peristiwa 1965] dibenarkan dan pemerintah mengakui bahwa ada satu cerita yang salah [terkait peristiwa 1965] sehingga harus direvisi karena dia melestarikan trauma korban,” kata sejarawan dari Universitas Nasional, Jakarta, Andi Achdian kepada BBC News Indonesia usai konferensi pers di Kantor Amnesty Internasional Indonesia, Selasa (29/08).

Karena itulah, peneliti sejarah di Ruang Arsip dan Sejarah (RUAS) Perempuan, Ita Fatia Nadia, mengatakan perlu ada “klarifikasi sejarah” yang menggunakan “sumber-sumber narasi korban” yang selama ini suaranya dibungkam.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Hukum dan HAM Mahfud MD, saat berdialog dengan para eksil 1965, Minggu (27/08) di Amsterdam, Belanda, mengatakan pemerintah Indonesia tidak akan melakukan “penulisan ulang sejarah” dan menyerahkan kepada para sejarawan untuk menyampaikan hasil penelitian mereka sebagai “ilmu”.

Mengapa harus ditulis ulang?

Unjuk rasa menuntut mantan Presiden Suharto agar diadili terkait pelanggaran HAM berat di masa Orba, 28 September 2005, di depan Istana Merdeka, Jakarta.
Unjuk rasa menuntut mantan Presiden Suharto agar diadili terkait pelanggaran HAM berat di masa Orba, 28 September 2005, di depan Istana Merdeka, Jakarta. SUMBER GAMBAR,JEWEL SAMAD/AFP

Namun, demikian Mahfud MD, negara tidak akan menjadikan hasil penelitian itu sebagai “pandangan negara”.

Padahal, para sejarawan mengatakan penulisan ulang sejarah merupakan salah satu rekomendasi dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM) kepada pemerintah Indonesia untuk dilaksanakan.

Pemerintah Indonesia telah mengakui 12 kasus pelanggaran HAM berat dan Presiden Joko Widodo “menyesalkan” terjadinya peristiwa-persitiwa tersebut.

Kasus-kasus pelanggaran HAM berat itu antara lain peristiwa kasus 1965-1966, penembakan misterius yang terjadi pada tahun 80-an dan menewaskan sepuluh ribu orang, peristiwa Talang Sari di Lampung pada 1989, peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh pada 1989, dan peristiwa penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998.

Kemudian ada peristiwa kerusuhan Mei 1998, Trisakti dan Semanggi I dan II tahun 1998 dan 1999, pembunuhan dukun santet pada 1998-1999, peristiwa Simpang KKA di Aceh tahun 1999, peristiwa Wasior di Papua 2001-2002, peristiwa Wamena Papua tahun 2003, dan peristiwa Jambo Keupok di Aceh tahun 2003.

Mantan Ketua Komnas HAM, Marzuki Darusman menyebut upaya yang sudah dilakukan negara sampai saat ini sebagai “suasana yang menjanjikan”.

“Belum pernah dalam sejarah, 50 tahun terakhir ini di Indonesia, pemerintah mengakui secara terbuka bahwa serangkaian 12 [kasus pelanggaran HAM berat] ini yang mewakili satu konteks pelanggaran hak asasi manusia yang lebih luas diakui sebagai pelanggaran hak asasi manusia berat dan disusul dengan penyesalan yang terbuka,” kata Marzuki dalam jumpa pers yang diadakan di kantor Amnesty Internasional Indonesia, Selasa (29/08).

Namun, upaya-upaya itu—termasuk tawaran pemulihan hak kewarganegaraan untuk para eksil peristiwa 1965-1966 yang baru saja berlangsug di Belanda dan Cekoslowakia—harus dilanjutkan dengan menulis ulang sejarah, terutama tentang 12 peristiwa yang sudah dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat.

Seorang mahasiswa keturunan Cina melindungi mukanya saat dicemooh dan diserang secara fisik oleh sejumlah pemuda yang menyerang Universitas Res Publika, pada 15 Oktober 1965..
Seorang mahasiswa keturunan China melindungi mukanya saat dicemooh dan diserang secara fisik oleh sejumlah pemuda yang menyerang Universitas Res Publika, pada 15 Oktober 1965. SUMBER GAMBAR,BETTMANN / GETTY IMAGES

Sementara, peneliti sejarah di Ruang Arsip dan Sejarah (RUAS) Perempuan, Ita Fatia Nadia mengatakan, pemerintah Indonesia “harus segera” dan “tanpa syarat” melakukan penulisan ulang sejarah terkait pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Hal itu mendesak dilakukan, “demi mengungkapkan kebenaran, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menegakkan keadilan, sebagai tanggung jawab negara atas kejahatan kemanusiaan masa lalu,” demikian Ita, saat membacakan Deklarasi Kemerdekaan untuk Klarifikasi Kesejahteraan, Kebenaran, dan Keadilan atas Kejahatan Kemanusiaan, di Kantor Amnesty International, Jakarta, Selasa (29/08).

Pernyataan sikap itu disampaikan para sejarawan, pendidik, akademisi, aktivis, pegiat seni-budaya, dan masyarakat.

Selama ini, menurut sejarawan Andi Achdian, negara dijadikan satu-satunya sumber kebenaran dalam penulisan sejarah dan dia menyebutnya sebagai suatu hal yang “problematik”.

“Setelah kita melihat korban-korban pelanggaran HAM, dalam narasi sejarah itu mereka adalah pemberontak, mereka adalah perusuh, pengkhianat, dan sebagainya.

“Jadi kita membiarkan orang tetap hidup dalam trauma di dalam tradisi narasi sejarah yang terus kita pakai sampai sekarang,” ujar Andi.

Itulah sebabnya, dalam penulisan ulang sejarah nantinya, peneliti sejarah Ita Fatia Nadia mengatakan, mengedepankan suara-suara korban adalah hal yang penting.

Sebab, ruang untuk berbicara itu, kata Ita, bisa menjadi “penyembuhan trauma” tersendiri buat mereka.

“Penyembuhan trauma bukan saja dari korban, tapi juga dari komunitas karena komunitas penting untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jadi, kebenaran itu kita mulai dengan memanggil kembali memori dari korban,” tambah Ita.

Khawatir akan hilang lagi

Deklarasi kemerdekaan untuk klarifikasi kesejarahan, kebenaran, dan keadilan atas kejahatan kemanusiaan di Kantor Amnesty International Indonesia, Selasa (29/08).
Deklarasi kemerdekaan untuk klarifikasi kesejarahan, kebenaran, dan keadilan atas kejahatan kemanusiaan di Kantor Amnesty International Indonesia, Selasa (29/08). SUMBER GAMBAR : AMNESTY INTERNATIONAL INDONESIA

Para sejarawan, pendidik, akademisi, pegiat seni-budaya, dan aktivis yang menyampaikan deklarasi sepakat mendorong pemerintah untuk menulis ulang sejarah sesegera mungkin.

Mereka khawatir pada pemerintahan selanjutnya, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat “akan ditutup kembali”.

Jika negara tidak memenuhi kewajiban itu, negara dianggap melanggengkan impunitas, menggelapkan fakta sejarah kejahatan kemanusiaan, bahkan menghindar dari kewajiban untuk memuliakan harkat, martabat, dan integritas bangsa Indonesia.

“Antara Januari sampai Februari tahun 2024, di situ pintu gerbangnya. Semakin cepat [penulisan ulang sejarah] dikeluarkan semakin mungkin ini mempunyai daya hidup yang melampaui kemungkinan itu nanti ditutup kembali,” kata Marzuki.

Sikap pemerintah yang terkesan setengah-setengah dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat membuat para pegiat mempertanyakan “kesungguhan dan ketulusan” Presiden Jokowi dalam menyampaikan pengakuan dan penyesalannya.

Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyontohkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Argentina, ketika rezim Jorge Rafael Videla—yang mirip rezim Orde Baru—berkuasa.

Usman menjelaskan butuh waktu 30-40 tahun bagi Argentina untuk mengupayakan proses pencarian kebenaran, pelurusan sejarah, dan proses penegakan keadilan.

Hingga kini, pengadilan Argentina pun masih mengurus ribuan perkara pelanggaran HAM berat masa lalu, baik di level dakwaan, maupun di level pemeriksaan di persidangan.

“Kalau Presiden Jokowi sungguh-sungguh dalam mewujudkan kehendak politiknya, seharusnya dia menyediakan waktu itu sedari awal, tahun pertama pemerintahan. tetapi di tahun pertama itu dia mengatakan prioritas pertama pemulihan ekonomi dari dalam. Tahun kedua baru kita bicara soal agenda HAM,” papar Usman.

Namun, lanjut dia, Jokowi baru membahas soal pelanggaran HAM berat pada tahun keempat, menjelang pemilu.

Usman memandang isu penyelesaian pelanggaran HAM berat kini kembali menjadi komoditas politik, sama seperti ketika Jokowi menjanjikan hal yang sama saat dia memperebutkan kursi presiden.

Sejumlah anggota militer Indonesia menangkap dan membawa belasan pemuda yang diduga menjadi anggota PKI di Jakarta, 10 Oktober 1965.
Sejumlah anggota militer Indonesia menangkap dan membawa belasan pemuda yang diduga menjadi anggota PKI di Jakarta, 10 Oktober 1965. SUMBER GAMBAR, BETTMANN/GETTY IMAGES

Negara tidak setuju penulisan ulang sejarah

Dalam pertemuan dengan para eksil di Belanda pada Minggu (29/08) lalu, Menteri Koordinator Hukum dan HAM Mahfud MD menyampaikan sikap “tidak setuju” terhadap keinginan “penulisan ulang sejarah” yang dituntut beberapa pihak.

Mahfud mengatakan negara membebaskan siapa saja untuk meneliti dan menulis sejarah terkait Tragedi 1965, tetapi negara tidak akan menganggap hasil penelitian itu sebagai “sikap negara” dan hanya memandangnya sebagai “ilmu” yang bisa dipelajari.

Negara hanya akan memfasilitasi penulisan sejarah itu dengan memberikan biaya untuk riset.

“Kalau ilmunya itu silahkan [ditulis]. Enggak mungkin ada orang bisa nulis satu sejarah yang dianggap benar. Enggak mungkin ada,” kata Mahfud yang juga mengatakan bahwa penulisan sejarah itu bisa memperkaya khasanah bangsa.

“Oleh sebab itu negara mempersilakan [tulis], kamu saya biayai. Tapi, jangan katakan ini pandangan negara tentang temuanmu. [Itu] Pandangan ilmu sejarah,” tegas Mahfud.

Bagaimana sejarah disajikan sebagai bahan ajar?

Seorang aktivis yang tergabung dalam Koalisi 65, Gerakan 98, dan individu lainnya menggelar 'Aksi Kamis' di depan Istana Negara Republik Indonesia di Jakarta.
Seorang aktivis yang tergabung dalam Koalisi 65, Gerakan 98, dan individu lainnya menggelar ‘Aksi Kamis’ di depan Istana Negara Republik Indonesia di Jakarta. SUMBER GAMBAR,GETTY IMAGES

Ratna Hapsari, Dewan pengawas Asosiasi Guru Sejarah Indonesia, mengatakan sampai saat ini sejarah tentang peristiwa pelanggaran HAM berat, Tragedi 1965 misalnya, masih memuat hal yang sama sejak pertama kali dibuat.

Meski dulu sempat ada usulan untuk menghapus PKI dalam rangkaian G30S/PKI, tetapi Ratna mengatakan buku-buku sejarah yang dia tulis berdasarkan kurikulum yang ditetapkan pemerintah masih menggunakan penulisan G30S/PKI.

Namun demikian, memang ada beberapa penerbit buku pelajaran juga mulai menyebut G30S tanpa PKI, pada kurikulum 2004, menurut pemberitaan Kompas.com.

“Patokannya menulis itu kan dari kurikulum yang ditetapkan pemerintah dan dua buku acuan. Pada masa Nugroho Sutanto menjadi menteri pendidikan dia membuat [buku acuan] sejarah nasional Indonesia. Kemudian di masa reformasi dibuat buku acuan lagi, tapi isinya tidak memberikan garis yang tegas sebetulnya yang terjadi apa,” kata Ratna yang sampai saat ini masih menulis buku sejarah sesuai kurikulum.

Dia menjelaskan, penjelasan mengenai peristiwa 1965 masih sama, meski sudah ada “referensi baru”.

Dalam buku sejarah, jelas Ratna, pembunuhan jenderal pada 1965 dilakukan dan dituduhkan kepada PKI.

Sementara itu, pada referensi sejarah yang baru, yang disebut PKI dalam peristiwa itu hanya merujuk pada DN Aidit dan kedua temannya. Namun, kesalahan itu ditimpakan secara menyeluruh kepada anggota-anggota PKI di seluruh Indonesia, “meskipun mereka tidak salah”.

Seorang anggota militer Indonesia mengawasi beberapa orang yang dicurigai sebagai anggota atau simpatisan PKI di Tangerang, usai 1 Oktober 1965.
Seorang anggota militer Indonesia mengawasi beberapa orang yang dicurigai sebagai anggota atau simpatisan PKI di Tangerang, usai 1 Oktober 1965. SUMBER GAMBAR,BETTMANN/GETTY IMAGES

Apa yang bisa dilakukan pemerintah?

Jika pemerintah berubah pikiran dan mau menulis ulang sejarah, peneliti senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Asvi Warman Adam, memiliki usul untuk pemerintah.

Pertama, menurut ahli sejarah itu, pemerintah bisa menerbitkan laporan lengkap tim PPHAM tentang 12 kasus pelanggaran HAM berat yang sudah diakui dan disesalkan Presiden Jokowi.

Penerbitan laporan itu pun tidak harus dicetak dan berbentuk buku karena teknologi saat ini memungkinkan untuk menerbitkan dalam versi digital “yang bisa dikerjakan segera”.

Kedua, pemerintah bisa menambahkan beberapa hal dalam buku acuan, yang selalu dijadikan pedoman dalam pengajaran sejarah, seperti yang disebut Ratna.

“Saya mengusulkan supaya dalam waktu dekat ini dilakukan revisi, koreksi, dan penambahan, pada jilid 7 ada 8. Pada jilid ditambahkan berbagai versi mengenai G30S 1965. Pada jilid 8 ditambahkan 12 pelanggaran HAM berat yang sudah diakui dan disesalkan Jokowi,” papar Asvi.

Penambahan dua bab itu, lanjur Asvi, bisa dilakukan dalam waktu beberapa bulan ini.

Lantas, bagaimana jika pemerintah tetap pada pendiriannya, tidak akan melakukan “penulisan ulang sejarah”.

Menurut peneliti sejarah Ita Nadia, hal itu bukan masalah. Sejarah-sejarah alternatif yang disajikan para sejarawan bisa disampaikan secara digital, yang bahkan bisa menjangkau kaum muda.

“Jadi metodologinya bisa bermacam-macam, bisa dengan podcast, bisa bermacam-macam, tapi sumbernya tetap. Anak muda sekarang kan [bisa menyimak] 10 menit saja atau 5 menit saja,” kata Ita.

Saat ini dia dan rekan-rekan sejarawan lainnya masih berupaya menuliskan sejarah-sejarah alternatif tentang pelanggaran HAM berat, yang memuat perspektif korban.

Leave a Reply

Share via
Copy link
Powered by Social Snap