Kata Mahfud MD Soal Nasib Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

TEMPO.COJakarta – Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud Md resmi menerima laporan dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu alias Tim PPHAM. Meski upaya non-yudisial sudah berprogres dengan adanya laporan Tim PPHAM, Mahfud memastikan proses yudisial di pengadilan tidak akan berhenti.

“Karena proses yudisial merupakan jalur sendiri,” kata dia dalam acara penyerahan laporan di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis, 29 Desember 2022.

Mahfud pun mengutip Pasal 46 di UU Pengadilan HAM yang berbunyi “Untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini tidak berlaku ketentuan mengenai kadaluarsa.”

Jika masih macet terus selama bertahun-tahun, kata dia, maka sesuai Pasal 43 kasus diserahkan ke DPR. Sehingga, Mahfud menyebut Komnas HAM, DPR, dan Kejaksaan Agung, bisa berembuk mencari jalan keluar. “Apa kalau sudah bertahun-tahun dicari tidak ada buktinya, kalau dibuka lagi malah tambah sakit, menggaruk-garuk yang tidak gatal,” kata dia.

Tim PPHAM dibentuk Jokowi untuk penyelesaian non-yudisial alias di luar pengadilan terhadap 12 pelanggaran HAM berat masa lalu. Tim fokus pada pemulihan korban, bukan pada pengungkapan pelaku. Masa tugas Tim berakhir pada 31 Desember ini, setelah bekerja selama 3 bulan lamanya.

Pengajuan kasus pelanggaran HAM ke pengadilan selalu gagal

Mahfud menyebut Tim PPHAM dibentuk karena pemerintah melihat upaya mengajukan pelanggaran HAM ke pengadilan selalu gagal. “Coba catat ini, sampai sekarang pengadilan sudah membebaskan 35 orang dari apa yang direkomendasikan Komnas HAM kita bawa ke pengadilan bebas semua, karena buktinya enggak cukup, hukum acaranya beda,” kata dia.

Mahfud mencontohkan kasus Tanjung Priok, di mana 14 orang yang diseret ke pengadilan kini bebas. Kasus Abepura, dua orang yang bebas. Kasus jejak pendapat di Timor Leste, 14 orang bebas. Kasus Paniai yang diputus 8 Desember lalu, satu orang dinyatakan bebas.
“Masalah utamanya adalah perbedaan standar hukum acara, bagaimana cara menemukan bukti dan cara membuktikan,” kata Mahfud.
Komnas HAM, kata dia, hanya punya peran pro yustisia untuk menyimpulkan terjadi pelanggaran HAM berat. “Tapi Kejaksaan Agung menyatakan ‘buktinya apa, visumnya apa, pelakunya langsung siapa, korbannya siapa?’ gitu, itu nggak ketemu kalau menggunakan standar pelanggaran HAM berat,” ujarnya.

 

 

Leave a Reply

Share via
Copy link
Powered by Social Snap