17 Tahun Aksi Kamisan: Antara HAM dan Moralitas Hukum

Kompas.com – 18/01/2024, 10:38 WIB
Editor: Sandro Gatra

KAMIS, 18 Januari 2007, adalah pertama kali aksi Kamisan digelar di depan Istana Merdeka, Jakarta.

Tujuh belas (17) tahun sudah korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia melawan dengan aksi diam di depan Istana. Selama itu pula penyintas dan keluarga korban pelanggaran HAM tidak mendapatkan keadilan, seakan hukum mengalami impunitas.

Impunitas hukum dalam konteks HAM semakin terlihat dengan hasil Indeks HAM Indonesia pada 2023 mendapat skor 3,2, menurun 0,1 dari tahun sebelumnya yang memperoleh skor 3,3 dari skala 1-7.

Semakin tinggi skornya, maka semakin tinggi pula perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan negara terhadap HAM. Penilaian tersebut dirilis oleh SETARA Institute dan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID).

Impunitas hukum dalam penegakan HAM harus menjadi alarm bahwa hukum sedang tidak baik-baik saja.

Setiap tahun pada 10 Desember, kita memperingati hari Hak Asasi Manusia sedunia. Meski tiap tahun dirayakan, tetap belum bisa direalisasikan secara maksimal dalam kehidupan.

Universalitas HAM

Padahal, setiap tahun semua orang akan berbicara HAM, dan setiap negara merasa telah memenuhi HAM rakyatnya.

Namun, tiap waktu juga di berbagai daerah belahan dunia terjadi penindasan aparat atas dasar perbedaan warna kulit, terjadi penyiksaan warga yang berbeda kepercayaan serta suku, dan terjadi pula pengkerdilan martabat manusia oleh para penguasa atas dasar pembangunan, bahkan atas dasar perbedaan pandangan dan pilihan politik.

Lalu, jika yang terjadi setiap hari adalah hal seperti itu, bukankah HAM hanya menjadi omong kosong penuh dusta, kepercayaan yang dikhianati, serta janji yang tak tertepati?

Maka sebenarnya HAM bukan sekadar perayaan satu hari saja. Melainkan peringatan tiap hari bagi negara agar selalu menjaga hak asasi rakyatnya dari segala bentuk penyimpangan.

Perlu ada pendidikan HAM kepada masyarakat secara terus menerus agar tidak dibutakan oleh siapapun, termasuk para penguasa.

Sejatinya HAM adalah hak mutlak setiap manusia yang hidup di muka bumi ini, termasuk para penyintas dan keluarga korban yang melakukan aksi Kamisan.

HAM, menurut Hukum Hak Asasi Manusia Internasional, adalah hak melekat pada setiap umat manusia di dunia, diakui secara legal oleh seluruh manusia sehingga hak tersebut tidak dapat dicabut, dihilangkan, dikurangi oleh siapapun dalam keadaan atau dalih apapun.

Sedangkan menurut teori hak kodrati (natural rights theory), HAM adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata–mata karena ia manusia.

Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.

Dalam arti ini, meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan yang berbeda-beda, ia tetap mempunyai hak-hak tersebut.

Inilah sifat universal dari HAM. Selain bersifat universal, hak-hak itu juga tidak dapat dicabut (inalienable). Artinya hak-hak itu melekat pada dirinya sebagai makhluk insan.

Moralitas Hukum

Masih berlangsungnya aksi Kamisan hingga saat ini menandakan bahwa HAM belum benar-benar terpenuhi secara maksimal, baik oleh penguasa maupun hukum.

Salah satu persoalan tidak terakomodirnya HAM pada aksi Kamisan karena hukum masih sekadar berpedoman pada state law (hukum posivistic).

Menurut Werner Mensiki (Cambridge University Press, 2006), penegakan hukum di Asia dan Afrika sangat berbeda dengan penegakan hukum di Barat, khususnya negara-negara Eropa.

Penegakan hukum di Eropa hanya mendasar pada state law tanpa bergantung pada moral, ethic dan religion. Sedangkan negara Asia dan Afrika sangat dipengaruhi oleh ketiga komponen tersebut yang tergabung dalam natural law.

Persoalannya di Indonesia, positivistic hukum masih mendominasi dalam penegakannya yang mana ini merupakan kebiasan berhukum di Eropa.

Namun di sisi lain, natural law yang berupa moral, ethic dan religion seringkali memengaruhi, akan tetapi terbentur oleh realita tidak termaktub secara tertulis dalam sistem hukum yang berlaku.

Pada akhirnya, aksi Kamisan tidak akan pernah selesai jika pendekatan hukum hanya sebatas state law. Perlu ada pendekatan yang lebih mendalam untuk bisa menyelesaikan persoalan yang dialami para massa aksi Kamisan.

Legal pluralism approach dapat menjadi alternatif pendekatan. Di mana legal pluralism mengandalkan adanya pertautan antara state law (positivistic), aspek kemasyarakatan (socio legal) dan natural law (moral/ethic/religion).

Dengan pendekatan ini, maka dalang di balik pembunuhan Munir dapat terungkap dan tidak berhenti pada dipidananya Pollycarpus.

Karena ada tuntutan moral dan sosial bagi hukum untuk membuka tabir pembunuhan tersebut.

Serta kasus-kasus lainnya yang diperjuangkan dalam aksi Kamisan. Tentu tidak akan mudah, namun harus tetap diupayakan dan diperjuangkan.

Sumber: https://nasional.kompas.com/read/2024/01/18/10380991/17-tahun-aksi-kamisan-antara-ham-dan-moralitas-hukum?page=all&lgn_method=google.

Leave a Reply

Share via
Copy link
Powered by Social Snap