Berikut tanggapan Ibu Sumarsih selengkapnya:
“Pernyataan Presiden hanya sebatas pencitraan seolah-olah telah melunasi janji pemilu, tetapi kenyataannya Presiden Jokowi adalah seorang pelindung para terduga pelaku pelanggar HAM berat.
Permintaan maaf Presiden atas nama Negara tidak diperlukan. Yang penting adalah membuat jera para pelaku dengan mengadili mereka di pengadilan agar tidak terjadi keberulangan pelanggaran HAM berat atau kekerasan apparat TNI ataupun Polri di masa depan. Apa artinya minta maaf bila tidak ada perubahan perilaku. Kenyataannya setelah terjadi tragedy Semanggi I kemudian terjadi tragedy Semanggi II, Wasior, Wamena, pembunuhan Munir, Paniai dan seterusnya hingga kekerasan TNI/Polri di Kanjuruhan, Malang.
Seharusnya tidak ada kesulitan untuk menyelesaikan Tragedi Semanggi I dan Semanggi II di Pengadilan HAM ad hoc sebab dalam Pernyataan Pers Komisi Penyelidikan Pelanggaran (KPP) HAM Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II tertanggal 21 Maret 2002, pada alinea ke-4 menyatakan bahwa KPP HAM Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II merekomendasikan sejumlah nama prajurit dan perwira tinggi TNI dan Polri untuk dihadapkan pada proses hokum berdasarkan otoritas dan peranannya masing-masing dalam rentang tanggung jawab komando (command respossibility). KPP HAM dibentuk oleh Komnas HAM.
Saya berharap Presiden Jokowi tidak ingkar janji untuk menyelesaikan kasus Semanggi I dan Semanggi II secara berkeadilan. Janji itu tetuang di dalam Nawacita pada butir (ff.) bekomitmen untuk menyelesaikan kasus Semanggi I – Semanggi II – Trisakti dan pada butir (gg.) berkomitmen untuk menghapus impunitas
Bila Keppres 17/2022 ini bertujuan untuk melunasi janji pemilu, pada pemilu tahun 2014 kami keluarga korban pelanggaran HAM berat terutama yang mengikuti Aksi Kamisan turut kampanye “ayo pilih Jokowi” karena Nawacita membeikan pengharapan yang sangat besar. Oleh karena itu saya menuntut agar penembakan Wawan dkk dipertanggungjawabkan di pengadilan.
Pemulihan yang diberikan korban sesuai bunyi Keppres 17/2022 itu tidak bijaksana, justru jauh dari nilai-nilai kemanusiaan sebab nyawa manusia akan dipulihkan dengan pemberian materi berupa bantuan social, jaminan kesehatan, bea siswa, dll.
Kesungguhan pemerintah agar pelanggaran HAM yang berat tidak akan terjadi lagi di Indonesia pada masa yang akan datang sangat diragukan sebab tidak ada penjeraan kepada para pelaku. Gagalnya pengadilan HAM ad hoc Timor Timur, pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok, pengadilan HAM Abepura dan pengadilan HAM Paniai karena adanya rekayasa penghilangan barang bukti yang dilakukan oleh orang2 yang terlibat dalam perkara kekerasan aparat. Kita bisa bercermin dalam rekayasa Ferdy Sambo terhadap pembunuhan Yosua. Tidak tertutup kemungkinan rekayasa penghilangan barang bukti juga dilakukan oleh para terduga pelanggar HAM berat yang kini semakin banyak menduduki jabatan stategis di pemerintahan.”
Pelanggaran HAM yang berat pada sejumlah peristiwa :
- Peristiwa 1965-1966
- Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985
- Peristiwa Talangsari, Lampung 1989
- Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989
- Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998
- Peristiwa Kerusuhan Mei 1998
- Peristiwa Trisakti dan Semanggi I – II 1998-1999
- Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999
- Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999
- Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002
- Peristiwa Wamena, Papua 2003
- Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003