Hal ini diungkapkan dalam diskusi bertema “Refleksi 9 Tahun Presiden Jokowi dalam Penyelesaian Kasus HAM” yang diadakan oleh Lingkar Mahasiswa Semanggi dan Aliansi Korban Kekerasan Negara (AKKRA) di Jakarta (28 Desember 2023).
Aktivis 98 Bona Sigalingging menilai Kepres 17/2022 tentang Pembentukkan Tim Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu termasuk Inpres 2 tahun 2023 Tentang Penyelesaian Rekomendasi Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat dan Kepres 4 tahun 2023 tentang tim pemantau pelaksanaan rekomendasinya, hanya setengah jalan dari penyelesaian yg harus dilakukan dan itupun prosesnya tidak dilakukan dengan benar karena Kepres tersebut menghilangkan satu elemen pengungkapan yg sangat penting dalam kasus pelanggaran HAM Berat Masa Lalu yaitu: PELAKU.
“Adanya KORBAN berarti harus ada PELAKU. Meniadakan PELAKU membuktikan bahwa proses pengungkapan kasus HAM Berat masa dalam mekanisme non yudisial tidak serius dan membuktikan takluknya negara pada pada mereka yang patut diduga sebagai pelanggar HAM Berat” ujar Bona
Tidak lengkapnya pengungkapan ini membuat tidak akan ada yg dapat membuat bangsa Indonesia dapat belajar memastikan tidak berulangnya kasus yang sama pada masa depan.
Mekanisme penyelesaian non yudisial ini adalah bukti bahwa negara melakukan pengingkaran yg terorganisir terhadap pelanggaran berat HAM masa lalu.
Alumnus Fakultas Hukum Atma Jaya ini juga menambahkan “Pengingkaran terorganisir yg dilakukan negara inilah yg justru membuat orang yang patut diduga bertanggung jawab justru dibiarkan mengisi posisi-posisi penting di militer, kepolisian, ataupun pejabat publik di kementerian bahkan calon presiden”