Pemerintah Segera Pulihkan Nama Baik Warga Eksil Korban Pelanggaran HAM Berat

Pemerintah menyiapkan program-program untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat secara nonyudisial. Namun, sayangnya tidak ada pengungkapan kasus dan pelurusan sejarah seperti diharapkan korban.

2 Mei 2023 20:27 WIB

Oleh NINA SUSILO, CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO | Editor: ANTONIUS PONCO ANGGORO

JAKARTA, KOMPAS — Penyelesaian nonyudisial untuk korban-korban pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu segera diwujudkan. Upaya berupa pemulihan nama baik, pendampingan ekonomi, perbaikan dan pengadaan rumah, serta pemulihan hak warga eksil dijanjikan dimulai Juni ini.

Namun, pengamat menilai program-program berbasis kedermawanan pemerintah ini semakin mengaburkan pertanggungjawaban hukum pemerintah.

Presiden Joko Widodo memimpin rapat tertutup terkait tindak lanjut rekomendasi penyelesaian nonyudisial bagi korban kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu, di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (2/5/2023).

Hadir dalam rapat yang dimulai pukul 9.45 ini, antara lain, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Menteri Sosial Tri Rismaharini, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim, serta Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno.

Dalam rapat yang berlangsung sekitar satu jam ini, hadir pula Panglima TNI Laksamana Yudo Margono, Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo, Wakil Menteri Ketenagakerjaan Afriansyah Noor, dan Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi.

Sebelum ini, Presiden telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2023 untuk menindaklanjuti rekomendasi Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM berat masa lalu. Dalam Inpres yang ditandatangani 15 Maret lalu, Presiden memerintahkan 19 menteri dan kepala lembaga untuk mengambil langkah-langkah yang terkoordinasi dan terintegrasi sesuai tugas, fungsi, kewenangan masing-masing dalam melaksanakan rekomendasi Tim PPHAM untuk memulihkan hak korban dan mencegah hal serupa terjadi.

Salah satu pemulihan hak korban akan diterapkan untuk warga korban pelanggaran HAM berat di masa lalu dan saat ini masih berada di luar negeri atau warga eksil. Saat peristiwa 30 September 1965, banyak WNI yang sedang studi di luar negeri dan kemudian tak bisa kembali ke Tanah Air.

”Mereka ini masih ada beberapa di luar negeri. Nanti akan kita undang. Mereka ini bukan anggota PKI. Mereka ini korban karena disekolahkan lalu tidak boleh pulang,” tutur Mahfud seusai rapat.

Dia juga mencontohkan, Presiden ke-3 RI BJ Habibie sebagai salah satu korban peristiwa 1965. Habibie bersekolah di Jerman tahun 1960. Tahun 1963, dia lulus pendidikan master lalu melanjutkan doktor. Lulus doktor persis pada akhir tahun 1965.

”Beliau termasuk orang yang semula tidak boleh pulang. Tetapi pada tahun 1974 ketemu dengan Presiden Soeharto ketika beliau berkunjung ke Jerman dan kebetulan mereka kenal,” tutur Mahfud.

Setelah Habibie menjelaskan bahwa terkena kebijakan terkait peristiwa 1965, Presiden Soeharto mengajaknya kembali ke Tanah Air. Bahkan, Habibie menjadi wakil presiden dan kemudian presiden.

Kementerian Hukum dan HAM mencatat masih ada 39 orang yang saat ini ada di luar negeri akibat kebijakan peristiwa 1965 tersebut. Warga eksil ini tersebar di Rusia, Ceko, Kroasia, dan negara lain.

Mahfud mengatakan, pemerintah akan mengecek satu per satu apabila warga eksil ini mau pulang ke Tanah Air.

”Kalaupun tidak mau pulang, tetapi mereka ini akan kita nyatakan sebagai warga negara yang tidak pernah mengkhianati negara. Karena untuk pengkhianatan terhadap negara itu sudah selesai di pengadilan, sudah selesai di era reformasi di mana screening dan sebagainya dihapus dan kemudian semua warga negara diberi hak yang sama di depan hukum dan pemerintahan,” tutur Mahfud.

Tak meminta maaf

Kendati akan memulihkan hak korban peristiwa 1965 sebagai WNI, ditegaskan pula pemerintah tidak meminta maaf atas peristiwa yang terjadi. Dalam rekomendasi Tim PPHAM, tidak ada permintaan maaf dari pemerintah kepada masyarakat karena peristiwa itu. Namun, pemerintah menyatakan mengakui bahwa peristiwa itu memang terjadi dan menyesali terjadinya peristiwa itu.

”Jadi tidak ada permintaan maaf dan tidak ada perubahan status hukum terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu, misalnya Tap MPRS No 25 Tahun 1966 tetap berlaku sebagai ketetapan yang tidak diubah,” tambahnya.

Rekomendasi tim PPHAM juga menitikberatkan perhatiannya pada korban, bukan pada pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu.

”Kalau menyangkut pelaku, itu menyangkut penyelesaian yudisial yang nanti harus diputuskan oleh Komnas HAM bersama DPR untuk selanjutnya diserahkan kepada pemerintah. Jadi, ini titik beratnya pada korban, bukan pada pelaku,” tambah Mahfud.

Fokus penanganan nonyudisial ini juga hanya pada korban 12 kasus pelanggaran HAM berat yang ditemukan Komnas HAM. Peristiwa itu, lanjut Mahfud, tidak bisa ditambah oleh pemerintah. Sebab, berdasarkan undang-undang yang menentukan pelanggaran HAM berat atau bukan adalah Komnas HAM. Adapun Komnas HAM merekomendasikan 12 peristiwa tersebut sejak lama berdasarkan pelaku yang melibatkan aparat secara terstruktur.

Untuk memulai program penanganan nonyudisial pada korban pelanggaran HAM berat, peluncuran atau kick off akan dilakukan Presiden Joko Widodo, Juni mendatang, di Aceh.

Kick off peluncuran upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat secara nonyudisial ini akan dilakukan di Aceh atau dipusatkan di Aceh pada bulan Juni. Tanggalnya masih akan ditentukan (kemudian). Tempatnya ada di tiga titik, yaitu di Simpang Tiga, Rumoh Geudong, dan Pos Sattis (lainnya) serta Jambo Keupok,” kata Mahfud.

Kegiatan dalam peluncuran tersebut diperkirakan dalam bentuk taman belajar atau living park tentang hak asasi. Namun, semua masih dibahas dan akan diputus dalam waktu dekat.

Dari sisi infrastruktur, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono menyampaikan, beragam bentuk penyelesaian nonyudisial pelanggaran berat HAM di masa lalu. Hal tersebut, misalnya, berupa beasiswa, peluang usaha, tambahan modal, maupun perbaikan puskesmas dan sekolah.

”Bisa pembangunan rumah doa kalau di Aceh, katanya ada diminta rumah doa. Karena ini untuk para korban, bukan pelaku. Nonyudisial untuk para korban, jadi harus dibedakan, menurut Pak (Menko) Polhukam,” kata Basuki di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (2/5/2023).

Selain itu, ada korban yang meminta bantuan dalam bentuk sapi dan kerbau karena piaraan mereka tersebut dulunya diambil. Adapun penanganan dari Kementerian PUPR adalah perbaikan rumah rusak. ”Rumah-rumah yang rusak diminta untuk diperbaiki. Datanya nanti dari Menteri Sosial,” ujarnya.

Tri Rismaharini menambahkan, pihaknya pun kini mematangkan penanganan penyelesaian nonyudisial pelanggaran HAM berat di masa lalu. ”Saya ditugaskan di Aceh, sudah ada BNBA-nya (data by name by address), nanti tinggal kita matangkan untuk pelaksanaannya,” kata Risma.

Bentuk penanganan dari Kemensos terkait permintaan tunjangan hidup. ”Tadi Bapak Presiden sudah memutuskan, yang mereka minta tunjangan hidup, itu nanti kita masukkan PKH (program keluarga harapan),” ujarnya.

Sandiaga Uno juga menambahkan, bimbingan teknis dan pendampingan untuk korban dan keluarga korban yang akan membangun usaha akan diberikan. Adapun untuk warga eksil, akan disiapkan beberapa kegiatan untuk mengundang mereka melihat kondisi Indonesia saat ini. ”Perintah Presiden, ini semua dieksekusi dalam waktu tidak terlalu lama dan program harus bisa dirasakan langsung,” ujarnya.

Tanpa pengungkapan

Korban kasus pelanggaran HAM berat lebih berharap pemerintah tak hanya mengakui dan menyesali terjadinya pelanggaran-pelanggaran HAM berat tersebut. Justru, pengungkapan kebenaran dan pelurusan sejarah untuk memutus rantai diskriminasi dan stigmatisasi yang diminta.

Pemimpin Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965 Bedjo Untung, misalnya, meminta pengungkapan kebenaran peristiwa 1965.

Secara terpisah, Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Herlambang Perdana Wiratraman mengingatkan, program-program yang disiapkan pemerintah ini sebagai cara simplifikasi penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat, tetapi semakin menjauh dari prinsip penyelesaian pelanggaran HAM.

”Program UMKM, infrastruktur, penyediaan benih dan alat pertanian, maupun PKH. Kalau (program-program) ini, tanpa pelanggaran HAM berat pun, harus dilakukan pemerintah, sebab itu memang kewajiban pemerintah,” tuturnya.

Sebaliknya, upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat harus memiliki prinsip-prinsip, antara lain, tidak ada keberulangan dan memastikan keadilan pada korban. Karena itu, suara korban harus didengar dan korban menuntut kebenaran dan pertanggungjawaban negara.

Selama ini, lanjut Herlambang, pemerintah selalu membenturkan bahwa penyelesaian yudisial bukan kewenangan pemerintah, padahal itu juga kewenangan pemerintah. Sebab, dalam struktur ketatanegaraan, kejaksaan ada di bawah Presiden. ”Sementara itu, macetnya pengungkapan kebenaran kan di pemerintah,” ujar Herlambang.

Adapun penyelesaian nonyudisial dinilai kurang kuat, baik landasan hukum, proses penentukan tim, kewenangan, maupun pertanggungjawaban anggarannya. Untuk masalah hak asasi manusia, semestinya landasan hukumnya di tataran undang-undang. Kalaupun penyusunan undang-undang dinilai lama dan urusan ini dipandang mendesak, pemerintah bisa menggunakan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Dengan demikian, landasan untuk perlindungan dan pemenuhan hak korban lebih kuat, apalagi yang disasar adalah instrumen hukum dan sejumlah peristiwa yang menyangkut banyak pihak.

Model penyelesaian seperti yang disiapkan pemerintah, menurut Herlambang, hanya berbasis kedermawanan pemerintah. ”Upaya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat tidak bisa menggunakan pendekatan kedermawanan pemerintah, tetapi pertanggungjawaban hukum pemerintah. Siapa bilang (pendekatan) nonyudisial tidak ada pertanggungjawaban hukum. Apakah program-program ini dibuat dalam rangkat memastikan perlindungan hak korban? Dari mana standar yang digunakan?” tuturnya.

Dia juga mempertanyakan, bagaimana menentukan siapa yang korban dan harus dipulihkan haknya, tanpa pengungkapan kebenaran.

Karena itu, kata Herlambang, selain pendekatan yang digunakan tidak sesuai untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat, pemerintah membuat paradoks dalam kebijakannya.

”Program-program dibuat seakan menyelesaikan (kasus-kasus pelanggaran HAM berat), tapi sebenarnya menjauh dari prinsip penyelesaian pelanggaran HAM,” tambahnya.

Sumber : www.kompas.id

Leave a Reply

Share via
Copy link
Powered by Social Snap