Aksi Kamisan sudah berlangsung selama 17 tahun menjadi upaya pencarian keadilan atas hak asasi manusia di Indonesia.
Dalam era media sosial, kita bebas untuk menyampaikan pendapat pada kolom komentar yang disediakan pada sebuah unggahan. Jari jemari kita adalah penyambung apa yang ada di kepala kita. Jika dulu mulut yang bersuara, maka kini deretan kata menjadi ekspresi seseorang saat melihat suatu hal.
Dalam dua hari terakhir, media sosial hangat membahas komentar dari salah satu warga negara pada unggahan foto di akun instagram @hariankompas. Foto yang menampilan Maria Catarina Sumarsih, seorang aktivitis hak asasi manusia (HAM) Indonesia mengacungkan kartu merah dalam Aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (15/2/2024). Aksi itu berlangsung satu hari setelah pemungutan suara Pemilu 2024.
Dalam kolom komentar, netizen tersebut menulis kalimat dalam bahasa Jawa “Wes tooo, pemilu wis rampung Bu, tinggal nunggu KPU.. quick count juga sdh ada.. trimo karo lapang dodo, ora usah nggawe ribut malah.. ojo gelem dikongkon ngene.. pun kundur mawon.” Kalimat tersebut jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi “Sudahlah, pemilu sudah selesai, Bu, tinggal nunggu KPU.. quick count juga sdh ada.. terima dengan lapang dada, tidak usah malah membuat ribut.. jangan mau disuruh seperti ini.. sudah pulang saja.”
Sejumlah kalangan menilai komentar dari sosok yang lumayan dikenal itu kurang tepat dan sebagian menganggap bahwa si penulis komen nirempati pada apa yang selama ini diperjuangkan oleh bangsa, yaitu keadilan pada HAM. Mereka juga menyangsikan si pembuat komentar tersebut tidak memahami apa itu Aksi Kamisan. Dan pada umumnya sebuah unggahan atau komentar pada sebuah unggahan di media sosial, maka reaksi dari orang lain menjadi konsekuensi yang terjadi. Komentar tersebut sudah dihapus oleh si pengunggah. Meski demikian, sejumlah orang telah melakukan tangkapan layar pada komentar tersebut dan kini beredar luas di media sosial.
Aksi Kamisan adalah sebuah gerakan yang bukan main-main. Sekelompok orang berdiri tegak di seberang Istana Merdeka, Jakarta, dalam aksi damai memperjuangkan hak kemanusiaan setiap hari Kamis sore. Aksi Kamisan dimulai sejak 18 Januari 2007. Aksi ini dimotori Maria Catarina Sumarsih, ibu dari Bernardus Realino Norma Irmawan alias Wawan, mahasiswa Unika Atmajaya yang tewas dalam peristiwa Semanggi I pada tahun 1998. Selain dirinya, Suciwati dan Bedjo Untung turut membidani gerakan Aksi Kamisan tersebut. Suciwati adalah istri mendiang pejuang Hak Asasi Manusia Munir Said Thalib yang tewas diracun saat di dalam pesawat penerbangan menuju Amsterdam, Belanda, pada tahun 2004. Sedangkan Bedjo Untung adalah perwakilan keluarga korban pembunuhan dan penangkapan tanpa prosedur hukum pasca tragedi 1965.
Para pencari keadilan itu tidak berdiri sendiri. Pejuangan Aksi Kamisan yang menyuarakan tuntutan penuntasan serentetan pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia juga diikuti berbagai gelombang elemen masyarakat yang peduli, memiliki kesadaran, dan berempati terhadap kondisi pelanggaran HAM yang masih terus terjadi di negeri ini.
Masyarakat sipil lintas generasi dan latar belakang sosial yang memiliki kepedulian dan sikap yang sama pun selalu hadir dalam setiap aksi tersebut. Bukan hanya Jakarta, masyarakat yang peduli HAM di sejumlah kota lain di Indonesia pun menggelar Aksi Kamisan, seperti salah satunya di Kota Bandung dan Yogyakarta. Selama penuntasan deretan angka panjang kasus pelanggaran HAM di Indonesia tak tertuntaskan, maka aksi ini akan terus berlangsung di depan istana sang penguasa negara.
Payung hitam dan pakaian hitam dikenakan di setiap aksi menjadi simbol duka berkepanjangan yang enhtah sampai kapan. Spanduk bertema perjuangan HAM dan foto-foto para korban kekerasan negara terhadap warga sipil terpampang dibentangan di bagian depan pada setiap aksi. Spanduk dan foto-foto ini agar terlihat oleh Istana Kepresidenan, tetapi seringkali tertutup oleh barisan polisi yang berderet menghadap ke mereka.
Sejumlah kasus pelanggaran HAM oleh negara telah terjadi di Indonesia dari masa ke masa. Kasus pembantaian dan penangkapan tanpa prosedur hukum secara massal pasca tragedi 1965, kasus Tragedi Tanjung Priok 1984, kasus penembakan misterius (petrus) 1982-1985, kasus Talangsari 1989, kasus Marsinah 1993, kasus pembunuhan wartawan Udin 1996, kasus kekerasan pada masa Reformasi 1998 termasuk kasus Tragedi Semanggi I dan II, Tragedi Trisakti, disertai penculikan dan pembunuhan sejumlah orang, kasus tewasnya Munir 2004, dan deretan kasus pelanggaran HAM lain acap kali mewarnai perjalanan bangsa ini. Bahkan, pelaksanaan beberapa Proyek Strategis Nasional di sejumlah wilayah di Indonesia yang digadang menjadi kemajuan peradaban justru menimbulkan pelanggaran HAM dengan menumbalkan warga sipil secara tidak beradab.
Mirisnya, hingga ke-805 aksi ini digelar, negara tak kunjung menyelesaikan rentetan kasus-kasus pelanggaran HAM yang diperjuangkan oleh mereka. Berbagai era tampuk kepemimpinan, penuntasan kasus pelanggaran HAM tidak pernah terselesaikan dengan asas hukum yang berlaku dan adil bagi mereka para korban kekerasan dan politis negara terhadap rakyatnya.
Mereka juga melawan adanya sikap negara justru memberlakukan impunitas terhadap para terduga pelaku dan dalang pelanggar HAM, bahkan beberapa diantaranya masih turut menjadi bagian pemerintahan dan bebas menggerakkan politik di Indonesia.
Tahun 2024 ini, sudah 17 tahun Aksi Kamisan ini berdiri, konsisten berjuang menyuarakan pemberangusan HAM oleh negara terhadap rakyatnya. Selama penegakkan HAM di Indonesia masih tidak dijunjung tinggi, maka mereka akan tetap ada dan berlipat ganda.
Hujan, terik panas, telinga yang tersumpal, hati nurani yang menggelapkan mata tidak akan merobohkan Aksi Kamisan, apalagi hanya sebuah komentar dari seorang netizen.
Sumber : https://www.kompas.id/baca/foto/2024/02/17/menolak-lupa-dan-ketidakpahaman-pada-aksi-kamisan