Janji Jokowi soal 12 Pelanggaran HAM Berat Dinilai Masih Banyak Kelemahan

Kompas.com, 13 Januari 2023, 17:09 WIB
Aryo Putranto Saptohutomo - Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com – Janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) buat menyelesaikan 12 kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang diakui pemerintah melalui jalur hukum atau yudisial masih diragukan oleh kalangan pegiat. Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menilai pernyataan yang disampaikan Presiden Jokowi di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Rabu (11/1/2023) lalu hanya sekadar melontarkan janji politik menjelang pemilihan umum (Pemilu) 2024. “Kalau berkaca kepada statement Jokowi, 2 kata kunci. Dia mengakui, menyesali. Yang muncul 2 kata kunci itu, tapi yang hilang banyak,” kata Julius saat dihubungi Kompas.com, Kamis (12/1/2023). Julius mengatakan, dalam pidato itu Presiden Jokowi tidak menyinggung soal apa peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi, pelakunya, jumlah korban.

Selain itu, kata Julius, Presiden Jokowi juga tidak menyampaikan apa yang bakal dilakukan oleh negara terhadap korban dan keluarganya yang selamat dari peristiwa pelanggaran HAM. “Ini semuanya hilang dari statement Jokowi. Jadi dari 2 kata kunci itu saja Jokowi kembali menunjukkan wajah aslinya, seperti yang dilakukan sejak 2014, yaitu ini hanya kebohongan lagi dan juga gimik lagi menjelang tahun Pemilu. Tahun politik lah,” ucap Julius. Julius juga mengatakan, kelompok masyarakat sipil dan para pegiat HAM menemukan fakta pemerintah tidak melibatkan korban dalam penyusunan atau pembentukan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 tahun 2022 terkait Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM). “Enggak ada perspektif korban sama sekali. Perspektifnya perspektif penguasa. Ujungnya kami sudah baca nantinya akan ada peradilan-peradilan fiktif yang tujuannya untuk mencuci dosa,” ujar Julius.

“Nanti tinggal bilang, ‘sudah diadili tuh tapi memang buktinya tidak cukup saja. Memang konstruksinya tidak kuat saja.’ Padahal memang mereka yang menyusun buktinya. Mereka juga yang melemahkan konstruksinya,” lanjut Julius. Padahal menurut Julius, pemerintah sebenarnya bisa dan berwenang melakukan penyelidikan ulang.

Bahkan menurut Julius, kelompok masyarakat sipil juga mempunya bukti-bukti dan berbagai petunjuk terkait sejumlah kasus pelanggaran HAM berat. “Kita sudah pahamlah ini cuma tipu-tipu. Jauh dari keadilan bagi korban. Jauh dari pengungkapan kebenaran, apalagi ajudikasi atau pengadilan bagi pelaku. Apalagi reformasi institusi pelaku,” papar Julius.

Seperti diberitakan sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan memang terjadi dugaan pelanggaran HAM berat di Indonesia pada masa lalu. “Dengan pikiran jernih dan hati yang tulis sebagai Kepala Negara saya mengakui bahwa pelanggaran HAM berat memang terjadi di masa lalu,” kata Jokowi setelah membaca laporan Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM). (PPHAM) di Istana Kepresidenan pada Rabu (11/1/2023). Presiden pun mengaku sangat menyesali terjadinya pelanggaran HAM berat pada sejumlah peristiwa. Kepala Negara lalu menyebutkan 12 peristiwa pelanggaran HAM berat, sebagai berikut:

  1. Peristiwa 1965-1966
  2. Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985
  3. Peristiwa Talangsari, Lampung 1989
  4. Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989
  5. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998
  6. Peristiwa Kerusuhan Mei 1998
  7. Peristiwa Trisakti dan Semanggi I – II 1998-1999
  8. Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999
  9. Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999
  10. Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002
  11. Peristiwa Wamena, Papua 2003
  12. Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.
Sumber: https://www.kompas.com/nasional/read/2023/01/13/17091381/janji-jokowi-soal-12-pelanggaran-ham-berat-dinilai-masih-banyak-kelemahan

Leave a Reply

Share via
Copy link
Powered by Social Snap