Jakarta, 24 November 2018 – Selalu membekas di ingatan mengenai apa yang terjadi pada tahun 1998, dimana kekacauan dan kerusuhan terjadi karena pemerintahan orde baru yang ingin digulingkan. Tidak sedikit korban yang berjatuhan, khususnya para mahasiswa yang menjadi penggerak akan perubahan yang besar ini. Unika Atma Jaya sendiri pun tidak terlepas untuk ikut memiliki peran dan kenangan kelam tersebut. Salah satunya adalah Bernardus Realino Norma Irmawan atau yang kerap dipanggil Wawan, salah seorang mahasiswa Fakultas Ekonomi Unika Atma Jaya yang ditembak oleh penembak jitu di halaman parkir Kampus Semanggi saat sedang menolong sesama rekan mahasiswa yang terluka karena kerusuhan.
Kasus penembakan tanpa sebab ini menimbulkan pertanyaan, “Mengapa Wawan ditembak saat sedang menolong orang yang terluka?” Beribu tanya terhadap kasus Wawan tidak kunjung terjawab sampai hari ini, selama 20 tahun berjalan. Demi menjunjung nama keadilan atas tindakan pemerintahan terhadap para mahasiswa pada masa itu, tahun ini mahasiswa Unika Atma Jaya kembali mengadakan sebuah rangkaian acara untuk memperingati Tragedi Semanggi ini, salah satunya adalah diskusi terbuka yang bertemakan “Dari Kami Yang Menolak Lupa 20 Tahun Tragedi Semanggi” yang diadakan di Gedung Yustinus lantai 14, Kampus 1 Semanggi Unika Atma Jaya.
Diskusi ini menghadirkan para pembicara yang memiliki kapasitasnya masing-masing dalam kasus ini, yaitu Sandra Moniaga dari Komnas HAM, Asmin Fransiska, S.H, LL.M., selaku Dosen Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, Dr. Yohanes Temaluru selaku Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Ilmu Komunikasi & Wakil Rektor bidang Kemahasiswaan Unika Atma Jaya pada masa Tragedi Semanggi 1, Violen selaku alumni Fakultas Hukum Unika Atma Jaya yang merupakan anggota Kesatuan Aksi Alumni dan Mahasiswa Semanggi, dan Hendardi selaku anggota Tim Gabungan Pencari Fakta Kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II.
dari kiri ke kanan) Hendardi, Sandra Moniaga, Hadi (moderator), Dr. Yohanes Temaluru, Asmin Fransiska, S.H, LL.M., Violen.
Diskusi ini membahas mengenai Tragedi Semanggi dari berbagai perspektif. Hendardi yang pada saat itu menjabat sebagai anggota Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kasus Trisakti Semanggi I dan Semanggi II menjelaskan kronologis serta penyebab terjadinya demo yang berujung tragedi ini. Hendardi juga menjelaskan bagaimana dan mengapa TGPF ini dibentuk, yaitu karena Tragedi Mei yang juga menyisakan kenangan kelam bagi bangsa ini. Hendardi juga menjelaskan bahwa sejak tahun 2002, proses hukum sudah dilakukan dan diserahkan kepada Kejaksaan Agung, tetapi hampir semua kasus yang menyangkut pelanggaran HAM dari tragedi itu selalu dikembalikan ke masyarakat karena dianggap belum bisa membuktikan siapa yang bertanggung jawab. Terjadi juga pendesakan aparat keamanan dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) untuk mengembalikan fungsi aparat keamanan sebagai penjaga keamanan. Tidak hanya masyarakat yang mendesak, tetapi Komnas HAM pun ikut andil dalam hal ini.
“Berbagai kasus ini memberikan sumbangan berarti bagi perbaikan hukum dan politik di Indonesia seperti dwifungsi TNI dan juga mengadopsi hukum-hukum internasional,” ujar Hendardi.
Komnas HAM yang dalam diskusi ini diwakilkan oleh Sandra Moniaga juga memiliki perspektif sendiri terhadap tragedi ini. Komnas HAM sudah berupaya untuk memperjuangkan kasus ini di pengadilan, tetapi Kejaksaan Agung selalu merasa hasil penyelidikan yang diberikan Komnas HAM belum cukup dan sesuai dengan prosedur. Padahal, Komnas HAM sendiri merasa bahwa bukti-bukti yang diberikan pada Kejaksaan Agung sudah cukup dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan keadaan seperti ini, Komnas HAM tidak bisa mengambil tindak lanjut yang lebih jauh karena harus ada persetujuan dari peradilan.
Sementara itu, Violen yang merupakan alumni Fakultas Hukum Unika Atma Jaya dan juga sebagai anggota Kesatuan Aksi Alumni dan Mahasiswa Semanggi bercerita mengenai kondisi detail dan kritis saat para mahasiswa yang bernaung di Kampus Semanggi ini sudah mulai kehabisan makanan.
“Demo mahasiswa ini tidak pernah dadakan. Pasti ada briefing dulu oleh koordinator lapangan untuk mempersiapkan demo. Pada saat itu rusuh dan para mahasiswa berlindung di dalam Atma Jaya dengan kondisi parah, ada yang terkena gas air mata dan luka-luka. Saat itu logistik juga sudah habis. Kemudian tidak lama itu, ada kejadian Wawan kena tembak. Kita sudah pasrah saat tidak ada pasokan logistik untuk para demonstran yang ada di Atma Jaya. Tetapi ternyata harapan datang kepada kami. Tiba-tiba ada mobil ambulans, yang awalnya kami kira berisi korban, masuk ke dalam parkiran. Tetapi saat dibuka, ternyata isinya adalah logistik yang berasal dari masyarakat sekitar kampus,” cerita Violen.
Salah seorang peserta memberikan pertanyaan kepada para pembicara.
“Teruntuk rekan mahasiswa, kita sekarang sedang melawan untuk tidak lupa. Katakan tidak pada pelanggaran HAM dan katakan ya pada pencari keadilan. Karena siapa yang akan menjaga rumah kita, kalau bukan kita sendiri? Karena rumah kita adalah Indonesia, jadi sampai saat ini tetaplah terus berjuang untuk Indonesia,” ujar Violen. (ARF)
Foto bersama pembicara dan peserta diskusi.
Sumber: https://m.atmajaya.ac.id