Kompas.com - 13/12/2023, 13:58 WIB Singgih Wiryono, Ihsanuddin Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) memberikan penilaian terhadap debat calon presiden perdana yang digelar Selasa (12/12/2023) kemarin.
Koordinator Badan Pekerja Kontras Dimas Bagus Arya mengatakan, diskursus penanganan hukum kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat masih belum jelas.
Dimas juga menilai, masing-masing calon juga gagal memunculkan gagasan dan strategi penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
“Nihilnya strategi dan metode dari ketiga para calon Presiden terkait penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dalam momentum debat calon Presiden,” ujar Dimas dalam keterangan tertulis, Rabu (13/12/2023).
Padahal, kata Dimas, gagasan dari segi strategi maupun metode adalah hal yang mutlak untuk dijadikan perdebatan, guna menguji tanggung jawab dari masing-masing capres dalam memenuhi hak korban pelanggaran HAM berat secara komprehensif.
Khususnya berkaitan dengan hak atas keadilan, hak atas kebenaran, hak atas pemulihan yang efektif, hingga jaminan tak berulangnya kasus pelanggaran HAM berat.
Dimas juga menyinggung terkait diskusi pelanggaran HAM berat masa lalu yang ditanyakan capres nomor urut 3, Ganjar Pranowo kepada capres nomor urut 2, Prabowo Subianto.
Dalam diskusi itu, Kontras menilai capres nomor urut 2 tidak memiliki ketegasan untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat, khususnya kasus penculikan aktivis 1998.
“Tidak muncul keberanian dari calon presiden dengan nomor urut 2 (Prabowo Subianto) untuk berkomitmen dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM Berat,” ucapnya.
Selain itu, Dimas juga menilai seluruh capres gagal menangkap masalah brutalitas aparat yang terjadi dalam kasus Kanjuruhan dan Kilometer 50.
Dalam debat tersebut, capres nomor 1 Anies Baswedan bertanya terkait dua kasus itu ke capres nomor 3 Ganjar Pranowo.
Namun menurut Dimas, para capres tidak ada satu pun yang menjelaskan bahwa permasalahan utama dari dua tragedi tersebut adalah soal kultur kekerasan di tubuh institusi Kepolisian.
“Selama bertahun-tahun Korps Bhayangkara nampak terjebak dalam tindakan eksesif dan brutal sehingga tindakannya memakan korban di tengah masyarakat,” katanya.
Selain itu, kata Dimas, berbagai upaya penyelesaiannya jauh dari akuntabilitas, para pelaku dihukum ringan, bahkan banyak yang bebas dari hukuman.
“Hal tersebutlah yang menyebabkan peristiwa kekerasan oleh Kepolisian terus berulang. Seharusnya ketiga Capres dapat menunjukan keberaniannya untuk melakukan reformasi total terhadap institusi Kepolisian, baik secara struktural, kultural dan instrumental, lebih konkret misalnya lewat pengetatan pengawasan,” katanya.